Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Senduduk, Anggur Kenangan Masa Kanak-kanak


Tebu dan anggur barangkali tumbuh dari gengsi kaum borjuis. Maka tebu selalu menggoreskan luka sejarah. Ia selalu tumbuh jadi komoditas politik. Sebab darinya gula tersarikan. Gula, hmm...! Gula senyawa dengan anggur. Atau wine. Kau hanya bisa mengenalnya dengan kantong tebal.

Senduduk.
Tapi tokoh kita dalam kisah ini tak akan bicara tentang tebu dan anggur yang mahal itu. Anak-anak dalam kisah ini barangkali cuma jujur menerima berkah alam. Dan saya, sebagai pengenang, mencoba mengibaratkannya.

Anggur itu adalah senduduk. Ketika lahan-lahan di pedesaan belum diberangus traktor, tumbuhan rumpai ini masih berkuasa dan menghampar luas. Anak-anak di desa mengenalnya dengan baik. Mengapa? Karena buahnya yang berwarna ungu itu memang lezat, manis dan empuk.

Begitulah anak-anak itu, sepulang sekolah, atau sepulang membantu ayah ibu di ladang, menyuruk ke 'hutan senduduk' dan memetik buah-buah yang matang. Dan, nyam...nyam....! Setelah itu, mulut mereka jadi ungu. Adakalanya mereka tertawa dan saling unjuk gigi. Gigi berwarna ungu. Seperti mabuk. Seperti berpesta. Merayakan anggur yang tidak dikenal zaman.

Ritual itu hampir dilakukan setiap saat, setiap kali anak-anak itu memiliki kesempatan bermain. Tentu, permainan-permainan lain juga diakrabi, misalnya mandi-mandi di sungai, atau memanjat pohon kelapa, menjatuhkan buah-buahnya yang muda, untuk dicecap air dan lendirnya. Itu nikmat. Tetapi, senduduk menyuguhkan sebuah kisah mengharukan.

Di hutan senduduk itu pernah kami saksikan seorang anak terisak-isak. Ia tidur-tiduran beralaskan ilalang, dan tampak sedang dilanda kesedihan. Ia teman kami yang baik, dan itu terkejut. Ketika kami tanya, dia mengatakan bahwa ibunya telah murka dan menyebat kakinya teramat pedih, hanya karena ia lalai, tak mengambil air dari pancuran. Ia lari, lalu berteduh mendamaikan jiwanya yang hancur. Umur 8 tahun. Tapi hatinya bisa amat sensitif dan mengatakan tak akan kembali ke rumah. Ia ingin tinggal di hutan senduduk itu, karena memang bagian bawahnya teduh. Jika lapar, ia bilang, ia akan makan senduduk.

Lama kami membujuknya, hingga akhirnya, menjelang malam, ia bersedia pulang. Dan ibunya, seperti yang ia khawatirkan akan murka, ternyata benar. Kami juga kena getah: pergi kalian, dasar anak-anak bandal. Orangtua mati-matian di ladang, kalian main-main saja. Dengan mental ciut, kami menjauh perlahan-lahan. Kami tidak tahu apa yang terjadi malam itu, tapi esoknya, teman kami yang baik itu tidak muncul di sekolah. Juga hari-hari selanjutnya. Ia hanya sempat mengenal angka dan huruf. Dan kelak, kawan ini mati muda entah karena apa, tak lama setelah pulang dari rantau.

Dan senduduk selalu mengingatkan kami pada kawan itu. Tapi kini senduduk tidak lagi ditemukan di desa itu. Entah bagaimana semua itu raib dengan sempurna. Dan demikianlah anak-anak generasi baru, kelak mungkin hanya mengenal tumbuhan ini dari cerita ke cerita, jikapun dikisahkan, atau dikaji untuk keperluan ilmiah. Itulah anggur kami. Anggur masa kecil yang membuat haru.

Dan kisah lain yang sangat menyentuh, yang selama-lamanya akan mengendap dalam ingatan adalah kisah tentang tebu. Tebu yang manis. Tebu yang juga tragis. Desa kami memang tak akrab dengan tebu. Ia tidak pernah jadi komoditi yang bersengaja dibudidayakan untuk penghidupan. Ia hanya hadir sporadis, sebagai tanaman penghias di pekarangan rumah, hanya beberapa rumpun, untuk konsumsi keluarga ketika cuaca sangat panas. Tapi kejahatan tercipta dari situ. Sebab, anak-anak yang orangtuanya tidak punya tebu, sesekali belajar mencuri jika ingin menikmati manisnya tebu, manisnya kehidupan. Singkat kisah, beberapa dari anak-anak itu pernah disebat karena mencuri tebu.

Sejak itu, tebu menjadi mimpi yang menyakitkan. Dan anak-anak itu mengobati luka itu pada ilalang. Pada akar ilalang. Di lahan-lahan yang ditraktor, mereka keluyuran mencari-cari akar ilalang, dikumpul, lalu dikunyah. Manis. Serupa tebu. Jika ayah-ibu mencangkul di ladang, maka akar ilalang saluran kesenangan, melampiaskan hasrat makan tebu. Betapa menakjubkannya kisah itu. Dan kelak, tebu memang bukan milik orang-orang miskin. Gula tetap mahal. Politik senantiasa ikut memainkannya. Tapi, kemanakah anak-anak kini bisa mencari akar ilalang yang manis-manis seperti ketika itu? Entahlah...! (Panda MT Siallagan)***