Dalihan Na Tolu Mulai Luntur, yang Dihormati Orang Kaya
Nilai kekerabatan dan kasih sayang yang terkandung secara kuat dalam budaya Batak, kini berubah ke arah materi. Dalam struktur adat, hula-hula yang seharusnya sangat dihormati pada Dalihan Natolu kini sudah luntur. Yang dihormati justru orang kaya, yang sering memberikan uang.
Hal itu disampaikan Guru Besar Ekologi Manusia Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Prof R Hamdani pada diskusi bertajuk Ekosistem Danau Toba Berdasarkan Tinjauan Ekologi Manusia di Sekretariat AAI Sumut Jalan Dwikora, Kompleks Setia Budi Townhouse Nomor 9 Medan, Sabtu (1/10/2016).
Menurut Hamdani, kondisi itu bisa menghilangkan kehilangan identitas yang ada. Sebab ekologi manusia di kawasan Danau Toba kini bergerak ke ekologi politik dan ekonomi.
"Cerita Danau Toba bukan hal yang baru. Ini telah menjadi cerita yang panjang, dengan berbagai sudut pandang. Banyak sekali orang yang terlibat. Tapi kenapa permasalahan Danau Toba tidak pernah selesai? Nilai kekerabatan dan kasih sayang berubah ke arah materi. Struktur adat, hula-hula yang seharusnya sangat dihormati pada Dalihan Natolu kini sudah luntur. Kini, yang dihormati adalah orang kaya, yang sering memberikan uang. Ini bisa menghilangkan kehilangan identitas yang ada," ujar Hamdani.
Diskusi itu sendiri digelar Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Sumatera Utara (Sumut). Hamdani tampil sebagai pemateri dalam diskusi tersebut.
Namun demikian, Hamdani mengakui tidak ada yang dapat menolak perubahan. Hanya saja, perubahan harus dapat dikontrol ke arah positif.
"Kita tidak bisa menolak perubahan. Bahkan antara kepercayaan dan agama tidak berjalan berdampingan. Pertanyaanya, siapa yang merusak Danau Toba. Jawabannya semua, tak perlu saya bilang satu per satu. Tapi ini fakta, elit politik dan para pengusaha juga ikut merusak Danau Toba. Untuk itu kita harus saling menghargai dan membuka mata untuk perubahan positif," ujarnya.
Menurutnya, masa depan Danau Toba tak bisa dilihat dari satu sisi saja. Ada berbagai sisi yang harus dipersatukan dan dibangun berdasarkan kesepakatan para elit.
"Konflik antar elit harus diminimalisir. Pertarungan gengsi etnisitas yang ada di kawasan Danau Toba sebaiknya tak harus terjadi. Masing-masing individu dan golongan harus saling menghargai. Contohnya, narasi batak saat ini lebih dominan ke Batak Toba, padahal ada Simalungun, Karo, dan lainnya. Nah kita harus menyatukan ini, jangan ada etnis dominan dan etnis tersingkirkan," katanya. (berbagaisumber/int)
Hal itu disampaikan Guru Besar Ekologi Manusia Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Prof R Hamdani pada diskusi bertajuk Ekosistem Danau Toba Berdasarkan Tinjauan Ekologi Manusia di Sekretariat AAI Sumut Jalan Dwikora, Kompleks Setia Budi Townhouse Nomor 9 Medan, Sabtu (1/10/2016).
Menurut Hamdani, kondisi itu bisa menghilangkan kehilangan identitas yang ada. Sebab ekologi manusia di kawasan Danau Toba kini bergerak ke ekologi politik dan ekonomi.
"Cerita Danau Toba bukan hal yang baru. Ini telah menjadi cerita yang panjang, dengan berbagai sudut pandang. Banyak sekali orang yang terlibat. Tapi kenapa permasalahan Danau Toba tidak pernah selesai? Nilai kekerabatan dan kasih sayang berubah ke arah materi. Struktur adat, hula-hula yang seharusnya sangat dihormati pada Dalihan Natolu kini sudah luntur. Kini, yang dihormati adalah orang kaya, yang sering memberikan uang. Ini bisa menghilangkan kehilangan identitas yang ada," ujar Hamdani.
Diskusi itu sendiri digelar Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Sumatera Utara (Sumut). Hamdani tampil sebagai pemateri dalam diskusi tersebut.
Namun demikian, Hamdani mengakui tidak ada yang dapat menolak perubahan. Hanya saja, perubahan harus dapat dikontrol ke arah positif.
"Kita tidak bisa menolak perubahan. Bahkan antara kepercayaan dan agama tidak berjalan berdampingan. Pertanyaanya, siapa yang merusak Danau Toba. Jawabannya semua, tak perlu saya bilang satu per satu. Tapi ini fakta, elit politik dan para pengusaha juga ikut merusak Danau Toba. Untuk itu kita harus saling menghargai dan membuka mata untuk perubahan positif," ujarnya.
Menurutnya, masa depan Danau Toba tak bisa dilihat dari satu sisi saja. Ada berbagai sisi yang harus dipersatukan dan dibangun berdasarkan kesepakatan para elit.
"Konflik antar elit harus diminimalisir. Pertarungan gengsi etnisitas yang ada di kawasan Danau Toba sebaiknya tak harus terjadi. Masing-masing individu dan golongan harus saling menghargai. Contohnya, narasi batak saat ini lebih dominan ke Batak Toba, padahal ada Simalungun, Karo, dan lainnya. Nah kita harus menyatukan ini, jangan ada etnis dominan dan etnis tersingkirkan," katanya. (berbagaisumber/int)