Menyetubuhi Sunyi, Pada Suatu Hujan
Puisi-puisi Panda MT Siallagan
Menyetubuhi Sunyi
Sunyi yang mengepung usia, ia susuri. Ia datang padamu mengendarai lelah sambil terus memeta: sejauh apa nafasnya berlayar, seluas apa peluhnya menggenang jadi laut.
Juga mimpi-mimpinya, sejauh apa mengapung di laut resah. Lalu rambut putihnya mengibaskan angin, mengerkah perahu dalam gelombang yang tak pernah reda. Hingga pada saatnya, ia berhendi di dermaga yang kau tukangi di hatimu. Ia tatap senyummu, berkecipak di atas airmatanya, mengepak serupa sayap burung, bercericit seperti pipit.
Lalu ia seperti terlempar ke sejarahnya, memeluk bukit, membaca siul dedaunan. Ia menulis puisi di wajah sungai. Lalu desah batu-batu mengigau tentang percintaan ikan. Ia menjadi lupa lukanya.
Riak-riak kecil melompat-lompat di matanya, bermain-main dengan angin. Dau kau lihat masa kecilmu berlari-lari di bawah hujan. Tubuhmu telanjang, basah menggoda langit. Kaukah itu yang menari di jiwanya?
Maka ia pun bersiap menuntaskan perjalanan sunyinya, tidur dibuai nafasmu.
Pekanbaru, 2004
Haiku, Merdeka
Kupancangkan tubuhku
jadi tiang. Kurajut
rambutku jadi bendera
dan berkibar-kibar
dihembus nafasku
Pekanbaru, 17-08-04
Pada Suatu Hujan
Pada suatu hujan, bocah-bocah telanjang berlarian ke halaman, mengerumuni kenangan yang berhamburan dari sunyi hatiku. Maka senja itu menggeletar ditikami bayang-bayang.
Ada yang bangkit dari genangan air parit. Aroma resahmu yang malu pada takdirkah? Sebab tawa bocah-bocah itu segera berlari, bersembunyi dari hujan yang tiba-tiba mengalirkan darah dari mataku.
Kau keci berlari, melintasi tangis dengan hati yang terkoyak. Dan cintamu terusir dari bandar, tempat bapa dan ibu menukangi nafasmu dari asin laut. Peluh kuli-kuli pelabuhan, juga hijau lumut, mengabadikan luka di tiang kapal-kapal.
Lalu pernah seikat surat bertuliskan airmata terkirim padaku dengan aroma abu, seolah anak-anak desa bersajak di jantung kampung dan hutan-hutan yang terbakar.
Lalu, sejauh apa rantaumu dikepung kemalangan? Dan pada suatu hujan, bocah-bocah telanjang kocar-kacir di halaman, menghindari kenangan yang memuntahkan darah dari kepalaku. Aku dan sejarah merindu dalam luka.
Pekanbaru, 2005
Ilustrasi. |
Sunyi yang mengepung usia, ia susuri. Ia datang padamu mengendarai lelah sambil terus memeta: sejauh apa nafasnya berlayar, seluas apa peluhnya menggenang jadi laut.
Juga mimpi-mimpinya, sejauh apa mengapung di laut resah. Lalu rambut putihnya mengibaskan angin, mengerkah perahu dalam gelombang yang tak pernah reda. Hingga pada saatnya, ia berhendi di dermaga yang kau tukangi di hatimu. Ia tatap senyummu, berkecipak di atas airmatanya, mengepak serupa sayap burung, bercericit seperti pipit.
Lalu ia seperti terlempar ke sejarahnya, memeluk bukit, membaca siul dedaunan. Ia menulis puisi di wajah sungai. Lalu desah batu-batu mengigau tentang percintaan ikan. Ia menjadi lupa lukanya.
Riak-riak kecil melompat-lompat di matanya, bermain-main dengan angin. Dau kau lihat masa kecilmu berlari-lari di bawah hujan. Tubuhmu telanjang, basah menggoda langit. Kaukah itu yang menari di jiwanya?
Maka ia pun bersiap menuntaskan perjalanan sunyinya, tidur dibuai nafasmu.
Pekanbaru, 2004
Haiku, Merdeka
Kupancangkan tubuhku
jadi tiang. Kurajut
rambutku jadi bendera
dan berkibar-kibar
dihembus nafasku
Pekanbaru, 17-08-04
Pada Suatu Hujan
Pada suatu hujan, bocah-bocah telanjang berlarian ke halaman, mengerumuni kenangan yang berhamburan dari sunyi hatiku. Maka senja itu menggeletar ditikami bayang-bayang.
Ada yang bangkit dari genangan air parit. Aroma resahmu yang malu pada takdirkah? Sebab tawa bocah-bocah itu segera berlari, bersembunyi dari hujan yang tiba-tiba mengalirkan darah dari mataku.
Kau keci berlari, melintasi tangis dengan hati yang terkoyak. Dan cintamu terusir dari bandar, tempat bapa dan ibu menukangi nafasmu dari asin laut. Peluh kuli-kuli pelabuhan, juga hijau lumut, mengabadikan luka di tiang kapal-kapal.
Lalu pernah seikat surat bertuliskan airmata terkirim padaku dengan aroma abu, seolah anak-anak desa bersajak di jantung kampung dan hutan-hutan yang terbakar.
Lalu, sejauh apa rantaumu dikepung kemalangan? Dan pada suatu hujan, bocah-bocah telanjang kocar-kacir di halaman, menghindari kenangan yang memuntahkan darah dari kepalaku. Aku dan sejarah merindu dalam luka.
Pekanbaru, 2005