Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Antara Hardoni Sitohang dan Tulila, Terimakasih!


Generasi muda Batak tak lagi mengetahui Tulila. Alat musik Batak kuno ini boleh dikatakan sudah nyaris punah. Tapi seorang anak muda Batak bernama Hardoni Sitohang menghidupkan roh dan 'kekuatan' alat musik ini, yang iramanya bagaikan kicau burung menyeru alam dan kemuliaan Maha Pencipta.

Hardoni Sitohang
Zaman dulu, alat musik ini sering dimainkan para leluhur untuk menyampaikan rasa syukur atau puji-pujian kepada Sang Maha Agung pencipta alam. Sejarah dan asal-usul alat musik ini tentu masih perlu kajian mendalam. Sebab menurut sumber terbatas, tulila merupakan alat musik tradisional yang ditemukan di beberapa subetnis Batak.

Di tamadun kebudayaan Batak Toba, Simalungun, dan Mandailing, alat musik ini sangat dikenal pada zaman kuno. Dengan demikian, tulila bisa saja menjadi salah satu alat musik penting, tapi tidak terwariskan secara berkelanjutan kepada generasi baru, sehingga terancam mengalami kepunahan.  Bahkan konon, saat ini tak ada lagi orang Batak yang mampu memainkan alat musik itu.

"Tulila alat musik spritual suku Batak yang permainannya menyerupai seruling. Nama Tulila bahkan tertulis dalam Alkitab perjanjian lama yang seakan memberikan bukti spritualnya dulu," ujar Hardoni Sitohang pada suatu kesempatan.

Hardoni mengatakan, dia mengenal Tulila ketika masih duduk di bangku SD. Ia melihat alat musik itu tersimpan di lemari, lantas ia bertanya ke ayahnya dan belajar bagaimana memainkannya. Setelah memperlajari tulila, tahulah ia bahwa sebutan Tulila di setiap daerah berbeda.

"Mungkin masyarakat Humbang mengenalnya dengan sebutan Salohap. Orang Samosir nyebutnya Talatoi. Saya berharap alat musik ini dapat dilestarikan. Saya akan coba memainkannya," katanya.


Bulan Oktober lalu, Hardoni akhirnya berhasil merilis album rohani Kristen dengan tulila sebagai alat musiknya. Kini Hardoni Sitohang berjuang melakukan revitalisasi atas Tulila. "Melestarikan tulila bukan kewajiban, tapi tanggung jawab," katanya.

Saat ini Hardoni sedang melakukan kajian terhadap nada Tulila. "Tidak ada lagi yang memainkan. Jadi saya memulainya dengan kajian nada, dan ternyata bisa. Selanjutnya saya bawakan kedalam lagu rohani yang nadanya hanya satu oktaf. Tulila hanya bisa satu oktaf. Ke depan saya berpikir bagaimana memproduksi Tulila," ujar pria kelahiran 23 April 1978 ini.

Terkait proses kajian-kajian nada, Hardoni menyimpulkan bahwa memainkan Tulila tak sesulit seruling. "Intinya mau dilestarikan. Kajian selesai. Saya akan langsung buatkan tutorialnya supaya semua orang bisa memainkan," katanya.

Hardoni Sitohang merupakan lulusan Seni Musik Universitas Negeri Medan. Pernah menjadi dosen di Unimed, Nommensen, dan STT Pelita Kebenaran.Saat ini ia menekuni musik tradisi Batak di Jakarta dan kerab berkolaborasi dengan Vicky Sianipar. (berbagaisumber/int)