Cerpen: Tabir Monalisa
Oleh: Panda MT Siallagan
Sebenarnya, ia tak pandai berbasa-basi, apalagi menyemir sepatu. Tapi demi bisa masuk ke ruangan Tuan Maranggir, ia mempelajari dua hal itu dengan semangat dan hasrat yang menggetarkan. Dan pagi yang cerah itu, ia tiba lebih awal di areal pabrik.
"Selamat pagi, Tuan. Cerah sekali, seperti wajah Tuan. Menyenangkan!" ujarnya ketika Tuan Maranggir tiba dan turun dari mobil. Sapaan itu terdengar penuh percaya diri, tapi hatinya sebenarnya rontok dan ia menanggungkan rasa malu.
Tuan Maranggir tersenyum dan menyerahkan tasnya kepada pria kecil berkulit legam itu. Ia gembira. Ditangkapnya tas itu dengan sikap hormat, lalu mengikuti langkah Tuan Maranggir. Hatinya riang, harapannya akan terkabul masuk ke ruangan Tuan Maranggir.
Setiba di depan pintu, jantungnya berdegup, terlebih ketika Tuan Maranggir merogoh anak kunci dari saku celana, memasukkannya ke lubang kunci. Dan…! Klek. Pintu terbuka, terdengar sedikit bunyi riut. Tapi tiba-tiba Tuan Maranggir membalikkan badan dan mengambil tasnya dari tangan Ultop.
"Selamat bekerja, Ultop," ujar Tuan Maranggir.
Secepat kilat Ultop merogoh dan mengeluarkan plastik dari saku celana, dan menunjukkan isinya: minyak semir dan kuas.
"Sudah saya siapkan, Tuan. Saya akan membersihkan sepatu Tuan, saya bikin semengkilat mungkin. "
Ilustrasi. |
"Hebat. Tapi sepatu saya bersih,” ujar Tuan Maranggir.
Lelaki ceking itu kaget, dan pada waktu bersamaan, pintu ditutup.
"Drama pagi ini agak keji," gumamnya dalam hati, sambil berjalan merindukan hujan.
Peristiwa berhujan itu belum genap sebulan, saat Tuan Maranggir pulang dari suatu acara di kantor kecamatan. Hari itu supirnya tak bekerja karena istrinya melahirkan anak keenam. Jadilah Tuan Maranggir menyetir sendiri. Ultop yang saat itu duduk-duduk di areal parkir menunggu hujan reda, seperti mendapat durian runtuh ketika Tuan Maranggir memanggil dan mengajaknya ke ruangannya. Tapi takdir tetaplah takdir. Tuan Maranggir ternyata menyuruh Ultop membersihkan sepatunya. Hanya ada sedikit butiran pasir dan lelehan air bercampur tanah di sekeliling sol sepatu itu. Begitupun, Ultop merasa bangga bisa masuk ke kantor Tuan Maranggir, orang kaya di kota kecamatan itu, pemilik beberapa pabrik penggilingan padi. Tapi ia jarang mengunjungi pabrik yang lain, ia lebih betah berkantor di pabrik satu ini. Konon, pabrik inilah mata pencaharian mendiang ayahnya. Sepeninggal ayahnya, di tangan Tuan Maranggir, pabrik warisan itu beranak-pinak.
Tak ada percakapan selama Ultop membersihkan sepatu. Barulah setelah selesai, Tuan Maranggir memintanya duduk di sofa, sementara Tuan Maranggir duduk di kursinya sambil bersandar dan sesekali berputar-putar. Ultop gugup. Tangannya dilipat dan diletak di antara kedua pahanya. Sikap tubuhnya selalu membungkuk. Tak sulit baginya menerapkan tatakrama semacam ini, sebab sudah terbiasa jadi orang kecil, bahkan menggelandang.
“Sudah berapa lama kamu jadi tukang potong rumput?” tanya Tuan Maranggir.
“Delapan tahun, Bapak. Sejak saya menikah. Anak saya dua. Saya harus belanjai mereka dengan penuh tanggungjawab,” ujarnya.
“Istrimu tidak bekerja?” tanya Tuan Maranggir.
“Sesekali, Bapak, kalau ada permintaan, mencuci pakaian di rumah orang-orang berada.”
“Oh, begitu.”
“Iya, Bapak.”
“Jangan panggil Bapak. Panggil Tuan saja. Haha.”
“Iya, Tuan.”
“Baik, hujan sepertinya sudah reda. Terimakasih, ya,” ujar Tuan Maranggir.
Ultop paham dan langsung bangkit. Ketika beranjak dari sofa menuju pintu, saat itulah matanya terjebak pada gambar yang menempel di dinding ruangan itu. Gambar perempuan cantik. Ultop terpaku pada gambar itu dan sesuatu menjalar keji di jantungnya. Mata wanita itu menancap ke matanya, seolah tersenyum, seolah mengabarkan sesuatu.
“Itu lukisan Monalisa,” ujar Tuan Maranggir. Ultop kembali sadar ke dunia nyata. Dan benar, ia membaca di bagian bawah lukisan itu, ada tulisan kecil: Monalisa.
“Maaf, Tuan, saya terkesima, gambarnya bagus. Permisi, Tuan,” ujar Ultop.
“Eh, tunggu,” ujar Tuan Maranggir menghampirinya, dan memasukkan amplop ke saku bajunya.
“Aduh, terimakasih banyak, Tuan. Terimakasih,” katanya.
Ketika melangkah dari ruangan itu, ia hanya memikirkan gambar wanita ajaib itu.
Dan kini, ketika melangkah meninggalkan ruangan itu, ia merasa kecewa tak bertemu wanita pujaannya. Ia berjalan gontai menuju kedai kopidekat pabrik. Ketika kopi terhidang, ia menyeruputnya, lalu menyalakan rokok. Saat itulah ia sadar: bahwa dengan cara halus, Tuan Maranggir telah menolaknya masuk ke ruangan itu. Dan kesadaran itu bercabang lagi, apakah Tuan Maranggir berpikir bahwa ia datang demi uang? Hatinya kacau. Ia ingat, isi amplop yang diberikan Tuan Maranggir cukup besar dan cukup belanja dua minggu. Dan istrinya berkata seperti tokoh agama: Tuhan selalu punya cara unik membantu umatnya.
Tapi kini, Ultop panas hati. Jiwanya terbakar. Ia seruput lagi kopinya. Sekilas ditatapnya dua anak muda bermain catur dengan tangan menopang wajah, diam membisu, seperti pecatur ulung. Dan pikirannya terus melayang pada gambar wanita cantik yang telah tiada di ruangan Tuan Maranggir, dan ia merasa harga dirinya ambruk. Amarahnya kian berkobar.
Lukisan wanita itu memang telah merusak ketenangan hidupnya. Malam setelah peristiwa itu, dia tidak bisa tidur. Wajah wanita itu lama-lama seperti ia kenal, seperti pernah ditemuinya di suatu tempat, di suatu waktu. Malam berikutnya, ia mulai yakin bahwa wanita itu memang ia kenal, meski hati tetap bertanya, siapa Monalisa? Kenapa Tuan Maranggir menggantinya dengan gambar pemain bola?
Puncaknya, suatu malam, ketika istri dan anak-anaknya sudah pulas, ia duduk-duduk di teras rumahnya. Tiba-tiba perempuan mirip Monalisa datang, duduk di sampingnya. Ia melirik kalau-kalau istrinya terbangun, tapi suasana senyap belaka. Lalu perempuan mirip Monalisa itu mencoba memeluknya. Ia melompat dihentak rasa takut. Ia lihat wanita itu seperti ibunya. “Astaga,” katanya sambil bangkit, menjauh dari ibunya. Tapi tiada siapa-siapa di teras itu.
Malam itu ia menyusun siasat agar bisa masuk ke ruangan Tuan Maranggir, melihat lagi gambar wanita itu, yang membuat hidupnya remuk dalam bayang-bayang mistik. Mendadak ia benci kepada pria itu. Ia berkhayal menampar orang kaya itu.
“Bangsat. Curang kau. Kau yang curang, kurang ajar.”
Khayalannya terganggu oleh keributan. Dua anak muda pecatur ulung tadi nyaris adu jotos dan ia melihat papan catur dan buah-buahnya sudah berserak. Pemilik kedai mengusir mereka. Ia juga beranjak dari kedai. Ia ingin pulang, menghapus bayang-bayang buruk yang mengacau jiwanya.
Tapi entah bagaimana, langkah kakinya tidak menuju rumah. Ia justru berada di depan ruangan Tuan Maranggir. Ia mengetuk pintu, tak ada sahutan. Ia ulangi. Dua kali. Tiga kali. Dan pada ketukan kelima, pintu dibuka. Tuan Maranggir terkejut. Dan kian terkejut ketika Ultop memberondongnya dengan pertanyaan tajam.
“Kau sembunyikan di mana ibuku?”
“Ibumu? Saya tidak paham kata kau. Tinggalkan tempat ini, atau kuseret kau ke Pengadilan!”
“Tak perlu, aku yang akan mengantar diriku ke Pengadilan,” ujarnya.
Sigap tangannya mengambil parang dari tas kerja, lalu mengayunnya berkali-kali secara membabi-buta. Setelah itu, ia tidak tahu apa yang terjadi. Ia hanya ingat, darah muncrat kemana-mana.
***
Ketika aku mengunjungi Ultop di penjara, ia menyebarkan ancaman yang sama. “Untuk apa kau bertanya-tanya, mau kupenggal kepalamu?” katanya.
“Aku ada di pihakmu,” sahutku.
"Tak perlu,” katanya.
Pelayan kantin penjara datang membawa kopi dan tiga bungkus rokok. Aku bernegoisasi agak lama dengan kepala Lapas untuk meluluskan urusan ini. Hingga pelayan berlalu, kami masih saling diam. Kusorong satu gelas kopi dan dua bungkus rokok itu ke arahnya. Satu gelas lain untukku. Kuseruput kopi, dan menyalakan rokok. Ia melakukan hal yang sama. Dan tiba-tiba, dengan mata basah, ia bicara.
“Tak ada lagi yang perlu kuceritakan, semua sudah kalian tulis,” katanya.
Ia diam dan mengisap rokoknya. “Apa lagi yang kau inginkan? Kau wartawan, tentu mudah bagimu meramu cerita di luar sana. Aku sudah damai di sini.”
“Aku ingin tahu tentang ibumu.”
Ultop bangkit dan berdiri berkacak pinggang. Tubuhnya gemetar. Giginya gemeretak, menudingku. “Kau!!!” katanya dengan suara menggeram.
Aku diam, mencoba tenang. Tak lama kemudian, ia menangis, lalu duduk lagi dengan nafas tersengal. Aku membiarkan situasi itu mengalir apa adanya. Kutatap matanya. Pedih.
Kupahami kisahnya. Dari warga, aku tahu pria ini tak memiliki ayah. Ibunya pulang dari Malaysia dan membawanya dalam usia dua tahun. Saat ia duduk di kelas dua sekolah dasar, ibunya bunuh diri. Sejak itu, ia hilang ingatan dan keluyuran di sekotah kampung. Lalu seperti dongeng, suatu hari Ultop bertemu dengan Irna ketika keluyuran di pasar. Konon, ketika melihat Irna, ia tiba-tiba waras dan kembali normal. Dan ajaibnya, Irna bersedia jadi istrinya.
Kulihat Ultop masih sesunggukan. Maka kuputuskan mengakhiri wawancara. Aku bangkit dan pamit padanya. “Maafkan aku,” kataku.
“Tak ada yang perlu dimaafkan,” katanya terbata, “Gambar wanita di ruangan itu membangkitkan kenanganku. Ia memperkosa ibuku, ibuku yang cantik dan bunuh diri.”
Dadaku sesak. Entah bagaimana, aku memeluknya. Dia memelukku. Kami sama-sama menangis. ***
Pematangsiantar, 2016
Panda MT Siallagan, menulis puisi dan prosa. Kini tinggal dan bekerja di Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara.
* Cerpen ini dimuat di Media Indonesia, Edisi Minggu 27 November 2016