Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Filosofi Cicak dan Payudara bagi Orang Batak


Orang Batak sangat dekat dengan cicak. Hewan melata ini oleh orang Batak bahkan dijadikan pedoman hidup yang diwujudkan dalam seni ornamen atau gorga. Di setiap rumah adat Batak atau Rumah Bolon, kita akan menemukan ukiran atau gorga cicak terpampang pada bagian depan rumah.

Gorga Boraspati dan Adop-adop (bagian bawah)

Dalam konteks ilmu seni rupa Batak, ornamen cicak ini disebut dengan gorga boraspati. Sebagaimana tatanan masyarakat lain, pergaulan sosial masyarakat Batak juga memiliki ragam filosofi. Dan nampaknya, leluhur Batak memilih cicak sebagai salah satu filosofi hidup berdasarkan pengamatan dan perenungan yang cerdas, cermat dan mendalam. Cicak dijadikan simbol kebijaksanaan, kehormatan, kesetiaan dan kekayaan.

Saya mencoba memahami filosofi cicak ini dengan perenungan sederhana. Dulu, ketika masih kanak-kanak, saya kerap menyaksikan cicak di dinding gubuk di tengah ladang yang terbuat dari rajutan bambu. Selama periode cukup lama, saya ingat kami sekeluarga pernah hidup di ladang dan tinggal di sebuah gubuk kecil.

Bertahun-tahun kemudian, kami pindah ke sebuah rumah di tengah desa yang terbuat dari papan. Di rumah ini saya juga kerap menyaksikan cicak. Bahkan kerap menjadikannya tontotan pada malam hari, terutama ketika cicak mengintip dan menerkam nyamuk atau serangga yang terbang di sekitarnya, persis seperti lagu anak-anak yang terkenal itu: cicak-cicak di dinding...

Ketika di kemudian hari rumah orangtua saya di desa itu bisa diperbaiki menjadi gedung, cicak-cicak itu tetap ada. Bahkan, ketika kini saya tinggal di kota dan usia terus bergulir menuju uzur, cicak tetap saya temukan di rumah. Kadang berlarian di dinding bersama teman-temannya, bahkan sesekali membuat terkejut ketika saya mengambil buku dari rak, cicak tiba-tiba melompat.

Saya ingat, suatu pagi di halaman rumah, seekor cicak terperangkap di bawah ancaman induk ayam. Dengan perasaan seru, saya saksikan sang ayam berusaha mematuk si cicak. Lalu, tiba-tiba ekor cicak itu putus. Si ayam mematuk ekor yang tertinggal dan menggeliat (bergerak-gerak), tapi cicak tanpa ekor itu lari dan berhasil menghilang ke semak-semak dekat rumah. Belakangan saya tahu, cicak juga memberikan ekornya sebagai umpan untuk mengelabui kucing yang menyerangnya.


Itulah mengapa saya katakan, leluhur orang Batak sangat cerdas dan cermat ketika memilih cicak sebagai salah satu simbol filsafat dalam kehidupan mereka. Baik di gubuk, rumah papan, gedung, pedesaan dan perkotaan, cicak selalu eksis dan mampu melanjutkan hidup. Demikianlah kiranya orang Batak bisa hidup dan beradaptasi dan bertahan di setiap situasi dan kondisi.

Zaman dulu, konon orang Batak akan merasa bahagia jika cicak muncul di lahan pertanian baik ladang dan sawah, sebab hal itu diyakini sebagai pertanda bahwa tanaman akan subur dan produktif. Semakin sering cicak muncul, tanaman semakin subur, dan produksi akan semakin memuaskan.

Memang, cicak adalah hewan yang kontroversial bagi suku tertentu jika dihadapkan pada pemahaman dan pemaknaan suku Batak. Orang Jawa, misalnya, konon menganggap cicak sebagai hewan pembawa sial. Dalam agama tertentu, beberapa pendapat mengatakan bahwa cicak adalah hewan yang tidak bersahabat dengan nabi.

Tapi terlepas dari perbedaan itu, secara luas dapatlah dipahami bahwa generasi penerus bangsa Batak harus mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi lingkungan. Orang Batak yang gemar merantau ke daerah lain tentu sangat terbantu dengan filosofi ini, sehingga mereka bisa bertahan dalam segala kondisi. Dia harus mampu bertahan seperti ciccak mencengkeram dinding, tiang, atau masuk ke celah-celah sempit.

Dalam konteks pergaulan, filosofi ini mendidik orang Batak menjadi lentur dan dapat bergaul dengan siapa saja, dan memiliki kebijaksanaan yang unggul menghadapi perbedaan di suatu lingkungan. Jadi tidak heran, meskipun stereotip orang Batak dikenal sebagai suku keras, berani dan bernyali, tapi setelah mengenal mereka, siapa saja bisa terbius dan merasakan nilai persahabatan yang istimewa.

Menariknya, gorga cicak selalu berhadapan dengan ornamen 4 payudara, yang disebut gorga adop-adop. Adop-adop berjumlah 4 memiliki makna: 1. Simbol kesucian. 2. Simbol kesetiaan. 3. Simbol kesejahteraan. 4. Simbol kesuburan wanita.

Gorga adop-adop ini diibaratkan sebagai ibu yang selalu menyusu pada anak-anaknya. Cicak bisa dimaknai sebagai orang Batak yang harus menghormati ibu kapanpun dan di manapun. Menurut orang-orang tua, ornamen ini diletak di bagian depan rumah sebagai tanda bahwa ke mana pun dan dimana pun orang Batak hidup apalagi sudah sukses, dia tidak boleh lupa pada kampung halaman.

Empat payudara itu juga melambangkan sosok ibu yang penuh dengan unsur kehidupan, kasih sayang, kesucian, dan kesuburan. Itulah sebabnya orang Batak sangat hormat dan menjunjung tinggi martabat ibunya. (Panda MT Siallagan/int)