Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sajak Pulang


Oleh Panda MT Siallagan

Ilustrasi.
Ketika bulan pecah di kaca jendela, kuputuskan jaga. Meski malam mengapung, kukemasi sisa sunyi dari kolong ranjang dan mengepak semua luka dan derita. Kubersihkan kamar agar tak ada kenangan tertinggal. Aku akan pergi meski menggigil raga disiksa hujan. Kubawa foto-foto, surat-surat, pakaian bekas, juga sisa parfum agar rumah tak sedih mengenang aroma peluh dan lapuk tubuh, agar ada pintu kelak untuk masuk dan bermain-main dengan kenangan itu. Perlahan kubuka pintu meski malam semakin koyak dicabik dingin. Kupakai sepatu dan baju terbaru, sejenak menyapa diri di muka cermin, dan kulihat mataku sudah buta dikerat rindu, kutahu kepulangan adalah obat paling manjur. Akan kutinggalkan rumah itu meski malam hancur dicambuk petir dan jalanan tenggelam. Sejenak aku beku di depan pintu mengingat apakah masih ada masa lalu yang harus dibawa atau apakah masih ada kenangan yang perlu dirawat sehingga aku perlu membatalkan kepulangan. Tapi tidak, semua sudah tanpa masa depan dan aku harus meninggalkan waktu meski malam sangat sembab dan hujan menyerbu tubuhku dengan ribuan jarum. Tak apa, aku harus berangkat. Aku berjalan sambil berperang dengan ingatan sambil berkhayal tentang masadepan sambil tersenyum membayangkan betapa bahagia tiba di tanah asal. Aku akan bercanda dengan harum bukit dan lembah-lembah. Aku berjalan mengganti malam dengan subuh dan mengusir subuh jadi rembang tapi hujan tak kunjung kering sampai kutahu akulah yang menangis antara sedih meninggalkan masalalu dan riang menuju rumah lama demi kehidupan baru. Pagi pun tiba. Aku mulai bertanya seberapa jauh telah mengembara sebab terlalu lelah aku berkelana. Matahari memercikkan api di mana-mana. Kuputuskan tidur. Meski panas menyengat, kupanggil semua suara dan keriuhan masa lalu agar aku tahu seberapa beku hatiku pada kerusuhan dan aku akan bermimpi di antara hujatan orang-orang. Kuhirup warna kota-kota dalam mimpi meski matahari makin tajam menikam tanah meski raungan kendaraan menyayat-nyayat peradaban, aku terus bermimpi dan tidur membunuh pagi, menghidupkan siang dan memanggil senja. Kini aku bangun dan kembali berjalan membawa tubuh yang telah berlalu menuju asal dan perjalanan berakhir ketika bulan pecah di atas nisan bertulis namaku. Selamat rehat!

Pematangsiantar, Juni 2009