Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Senja Perjamuan


Puisi-puisi Panda MT Siallagan

Ilustrasi.

Jejak Penuh Duri


Kau meninggalkannya, bersembunyi di padang-padang yang memecah tubuhmu jadi bayang-bayang kelam. Jejakmu menajam jadi duri-duri, dan peluhmu berceceran jadi sihir-sihir hitam, memahat-mahat dendam, menyihir amarah jadi panah, merasuki udara.

Tapi ia menghirupnya sebagai tikaman cinta yang menuntunnya selalu menujumu, menyusulmu dengan terhuyung-huyung, terbatuk-batuk. Datang kepadamu dengan kaki yang memuntahkan darah, sebab cintanya telah terjerat dalam nafasmu, sebab bersetia adalah kemenangan.

Dan kau tahu, di sepanjang mimpi yang penuh genangan darah itu, ia mengibadahi doa-doa dengan huruf-huruf namamu, agar airmata dan darahnya terberkati, agar iblis-iblis di tubuhmu tak membunuhmu.

Pekanbaru, 2004


Ketika Pulang

karena aku letih,
kota ini membara
hiruk-pikuk dan warna-warna
menyulut peluh
jadi api
jadi bara
menjalar menjilati gang-gang
menjulur malahap jalan-jalan
berkibar menelan gedung-gedung
dan asap dari tingkap dan atap
dari cerobong pabrik yang luka
dari knalpot-knalpot perbudakan
memuntahkan takdir jadi ratapan
antara deru dan lengkingnya
doaku terbakar
airmata tergelar
jadi pintu
menuju kematian
simpang dan ruang meraung
mengibadahi duka

karena aku letih,
kota ini membara
tak jadi arang tapi jadi ular
merayapi sudut, menjuluri ruang
saat aku pulang
jalan-jalan telah lengang

Pekbanbaru, 2004

Melukis Matamu

Aku melukis matamu jadi sajadah, agar mentari menyinariku berselancar, berkejaran dengan ombak yang menggeloa karena doa-doa.

Aku melukis matamu jadi sajadah, agar mentari menyinariku berselancar, menaklukkan gelombang di laut kegelapan.

Tomok, 24 April 2004


Senja Perjamuan

Senja yang rapuh itu, aku tiba di kotamu dengan dada menyala. Peluh di tubuhku menderas, mengalirkan dongeng tentang matahari yang menyalakan api puisi selama mengembara menujumu.

"Aku letih," kataku dengan suara berasap. Asap yang kau tatap seperti kabut meruap dari pebukitan kampungmu. Kau menggigil, sebab angin lembah-lembah bertempur di tubuhmu.

Saat kau mendesiskan doa dan rindu, nafasmu memetir, peluhku menggelombang-gelombang disulut debar.

Tiba-tiba petir menyambar, semak-semak di tubuh kita terbakar. Dalam abu, kita menanami kebun.

Pematangsiantar, 2004