Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sigale-gale, Kisah Si Raja Deang yang Sunyi


Patung Sigale-gale yang terknenal dari tanah Toba itu merupakan hasil kreativitas seniman Batak pada zaman dahulu. Dari sisi capaian artistik, patung Sigale-gale bolehlah dikatakan sebagai karya seni bernilai tinggi dalam perjalanan seni rupa Batak. Dan si pematung, dengan demikian, bisa dikatakan sebagai perupa ulung.

Patung Sigale-gale.
Patung Sigale-gale merupakan tiruan manusia, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Keduanya dibentuk dari batang kayu dengan kekuatan seni ukir dan seni pahat. Keahlian si seniman dan teknik pembentukan patung tampak jelas dari wujudnya yang mistis, menggerunkan dan bisa menari seperti manusia. Tarian inilah yang kemudian dikenal Tortor Sigale-gale.

Menurut cerita turun-temurun, permulaan Sigale-gale bermula dari kisah hidup Datu Niantan dan Datu Manggeleng, dua abang-beradik dari sebuah keluarga pada zaman Batak lama. Kedua abang beradik ini sangat terkenal dan tersohor karena ilmu supranatural (hadatuon) yang mereka miliki.

Suatu ketika setelah cukup umur, sang abang Datu Niantan menikah dan berkeluarga. Ini kondisi ideal dalam tatanan sosial masyarakat Batak yang patriarkal: bahwa setiap lelaki harus menikah agar kehidupannya dianggap sempurna dan memiliki generasi penerus marga. Dan hal itu pulalah yang menjadi keresahan dalam keluarga itu, sebab si adik, Datu Menggeleng, tidak kunjung menikah.

Seluruh keluarga berharap dan menyarankan agar dia segera menikah, tapi Datu Manggeleng sepertinya lebih memilih hidup sendiri. Bersama pelayannya, dia kemudian pergi ke daerah lain yang masih berwujud hutan. Di sana, ia menebang kayu, lalu mengukirnya. Setiap hari ia hanya mengukir dan tidak lagi berbaur dengan masyarakat. Dan entah dapat ide dari mana, ia berkeinginan membuat ukiran dan patung menyerupai manusia.

Pada awalnya, Datu Manggeleng membentuk bagian-bagian patung itu secara terpisah. Kepala, tangan, tubuh, kaki dan lain-lain, dibentuk secara bertahap. Setelah itu, bagian-bagian patung itu disatukan atau dibuhul dengan tali, hinga akhirnya menyatu seperti wujud manusia.

Setelah patung hasil ciptaannya rampung dan menjadi baik adanya, Datu Manggeleng kembali memikirkan bagaimana caranya agar patung manusia itu bisa bergerak. Ia kemudian merancang ruas-ruas patung, dan akhirnya, dengan bantuan tali, patung bisa bergerak jika ditarik. Dan selanjutnya, patung itu tak hanya sekedar bergerak, tapi juga bisa menari.

Hasil karya Datu Manggeleng itu kemudian tersebar luas dan menjadi tersohor. Datu Manggeleng memberi nama patung ciptaannya itu Si Raja Deang. Dan begitulah, Si Raja Deang menjadi sakral bagi ketika itu.

Hingga akhir hayatnya, Datu Manggeleng hidup sendiri dan ketika ia meninggal, ia tidak meninggalkan keturunan. Dalam tradisi Batak, seseorang yang meninggal tanpa punya keturunan disebut dengan mate pupur. Demikianlah Datu Manggeleng meninggalkan dunia ini dengan status mate pupur.

Belakangan hari, setelah Datu Manggeleng tiada, orang-orang mengubah nama Si Raja Deang menjadi Sigale-gale. Konon, nama Sigale-gale merujuk pada nama Raja Manggeleng. Tapi sebagian menyebut, Sigale-gale merujuk pada gerakan patung yang gale (lemah gemulai) ketika menari.

Dan demikianlah, sesuai kisah hidup Datu Manggeleng sang seniman itu, orang-orang Batak kemudian mempertontonkan Tortor Sigale-gale jika ada orang mate pupur. (Panda MT Siallagan)

* Catatan: Kisah ini merupakan versi yang disadur dari buku Jambar Hata karangan TM Sihombong, Penerbit Tulus Jaya (1989).