Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sekilas tentang Hadatuon, Eksotisme Batak


Leluhur orang Batak pada zaman dahulu menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan itu hingga kini masih tersisa dan dipraktekkan oleh orang-orang tertentu. Tentu saja, terkait dengan kepercayaan Batak lama itu, ada diwariskan ilmu supranatural yang disebut hadatuon.


Ilustrasi lembaran Pustaha Laklak.
Namun perlu ditegaskan, hadatuon yang dimaksud di sini bukanlah bermakna negatif sebagaimana dipahami generasi baru bangsa Batak di zaman modern ini. Hadatuon sesungguhnya mencakup keseluruhan kearifan lokal Batak baik dari aspek religius maupun sekuler.

Hadatuon adalah merupakan ilmu supranatural sekaligus natural yang dapat diajarkan dan dipelajari orang-orang tertentu, terutama oleh mereka yang diberi anugerah istimewa. Anugerah ini disebut sahala hadatuon. Proses penyampaian ilmu tersebut selalu bersifat tertutup: dilakukan di luar lingkungan antara seorang guru (datu) dan seorang ‘murid’.

Konon, datu hanya seorang guru bagi seorang murid, artinya ia tidak bisa sembarangan mengajarkan ilmunya kepada sembarangan orang. Proses penurunan ilmu itu selalu berlangsung dengan cara-cara yang juga sulit dipahami.

Jadi dengan kata lain, datu bukanlah guru masyarakat sebagaimana guru-guru lain, katakanlah guru silat atau bela diri. Secara umum, orang Batak memahami bahwa eksistensi datu di tengah-tengah masyarakat berfungsi sebagai ahli pengobatan, atau pemimpin dalam ritual keagamaan Batak lama. Selain itu, datu juga sering dianggap sebagai cenayang (medium) dalam memanggil atau berhubungan dengan roh-roh nenek moyang, dan juga sebagai peramal atau dukun tenung.

Seperti dikatakan di atas, dengan demikian, datu dan hadatuan adalah ilmu yang dikuasai oleh seseorang dan cakupannya sangat luas dan bersifat khusus. Proses penurunan ilmu itu juga merupakan rangkaian ritual yang aneh, unik, irasional, tapi sungguh nyata dan diyakini.

Menurut orang-orang tua, ilmu hadatuon sebenarnya telah dituliskan di sebuah kitab yang disebut pustaha agong (pustaka arang). Orang Batak lebih mengenal kitab ini sebagai pustaha laklak, kitab yang terbut dari kulit kayu. Konon, di dalamnya tersaji secara lengkap ilmu hadatuon.

Menurut mitologi, pustaha laklak diwariskan Si Raja Batak kepada anaknya Guru Tatea Bulan yang menjadi datu. Dengan demikin, Guru Tatea Bulan dapatlah dikatakan sebagi datu pertama suku Batak yang mengajarkan ilmu itu kepada anak-anaknya.
Sebagaimana diketahui, pustaha laklak itu berisi ilmu untuk memelihara kehidupan seperti diagnosa penyakit, terapi, ramuan obat-obatan magis, ajimat, parmanisan dan sebagainya.

Sebaliknya, buku laklak juga berisi ilmu untuk membinasakan kehidupan seperti seni membuat racun, seni mengendalikan atau memanfaatkan kekuatan roh tertentu memanggil pangulubalang dan seni membuat dorma, guna-guna pemikat cinta.

Kemdudian, ada juga ilmu meramal, perintah para roh dan leluhur, sistem almanak atau kalender (parhalaan) dan perbintangan (astrologi) untuk menentukan hari baik bulan baik untuk menyelenggarakan suatu hajatan, pekerjaan berat atau perjalanan jauh.

Isi pustaha itu kemudian dipraktekkan dan dikembangkan dalam upacara-upacara magis untuk berkomunikasi dengan kekuatan supranatural, baik roh leluhur, roh penghuni alam (pangingani) maupun roh-roh jahat. (berbagaisumber/int)

BACA JUGA: Pustaha Laklak, Aksara Batak, Mistik Gubahan Datu