Puisi-puisi Panda MT Siallagan
Ornamen cicak dan adop-adop. |
Lahir
Bertahun-tahun ia bertanya, pergi ke mana
airmata yang dulu sering melintas
pada masa kecilnya. Dan bertahun-tahun
ia tak menemukan kabar hingga ia pergi
meninggalkan rumah dan sebuah pesan
di palang pintu: tak ada ruang untuk tangisan.
Lalu bertahun-tahun ia mengembara mencari doa
yang pergi dari masa kecilnya. Bertahun-tahun ia
tak menemukan doa hingga akhirnya bertapa
di sebuah rumah dan memalang pintu
dengan sebuah pesan: doa sudah hijrah.
Dan di relung semedi, sungai mengalir dari matanya,
melarung daun-daun yang ia kenal pada masa kecil,
melarung nafas bapa-ibu dari tepian pemandian.
Ia sesenggukan, "Tuhan, terimakasih
untuk lingkaran ini," katanya.
Sejak itu, ia bahagia membayangkan tahun-tahun
akan berlangsung dibasuh airmata,
digulung doa-doa.
Pematangsiantar, 2016
Kembali
Seekor cicak melompat dari rak buku,
terhempas ke lantai,
dan lari terseok-seok
menyeret luka ke balik lemari buku.
Dan terdengar ketukan ganjil di pintu,
seperti bunyi cicak menelan sepi.
Seorang penyair keluar dari mimpi,
beranjak membuka pintu. Klek.
Di luar, malam telentang tanpa beban,
terhampar tanpa teman. Tak sesiapa sedang datang.
Penyair menutup pintu. Klek.
Dan kembali berbaring meniduri mimpi.
Tapi terdengar lagi bunyi celepuk di tepi ranjang,
membuat penyair itu benar-benar terjaga.
Seekor cicak tersadai.
Pintu rak terbuka, sebuah buku tergeletak di lantai.
"Siapakah yang ingin mencuri kata-kata," gumamnya.
Matanya masih berat digenggam kantuk.
Setengah sadar, ia buka pintu rak,
matanya terhenyak,
merayap dari buku ke buku.
Cicak-cicak tersentak,
berlarian dari celah buku-buku,
seolah merayu hatinya
membaca lagi sajak-sajak.
Ia raih sebuah buku. Ia baca judulnya: buku mati kesepian.
Dan seekor cicak melompat saat lembar pertama disibak,
penyair itu pingsan.
Di dalam mimpi, ia membuka pintu. Klek.
Lalu pergi setelah doa pendek
melompat dari mulutnya,
"Maafkan aku, buku-buku yang baik.
Hidup masih membutuhkanku."
Pematangsiantar, 2016