Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah, Asal-usul dan Makna Tortor


Tarian tradisional masyarakat Batak Toba disebut dengan tortor. Secara harafiah, tortor dalam bahasa Batak berarti tari atau tarian. Sedangkan aktivitas menari disebut manortor.

Tortor. (Foto/Int)
Konon, kata tortor berasal dari 'tor-tor', bunyi hentakan kaki penari di lantai papan rumah adat Batak. Meskipun belum ada informasti detail kapan tradisi tortor mulak dipraktekkan dalam masyarakat Batak, namun para seniman dan praktisi tari percaya bahwa sejarah tortor sangat terkait dengan upacara-upacara ritual Batak.

Seorang pecinta dan praktisi tortor, Togarma Naibaho, menyatakan pendapat yang sama bahwa tor-tor berasal dari suara hentakan kaki penari  di atas papan rumah adat Batak. Penari bergerak dengan iringan gondang yang juga berirama mengentak. "Tujuan tarian ini dulu untuk upacara kematian, panen, penyembuhan, dan pesta muda-mudi. Tarian ini memiliki proses ritual yang harus dilalui," kata pendiri Sanggar Budaya Batak, Gorga, itu kepada National Geographic Indonesia.

Menurut sumber-sumber sejarah, tortor awalnya memang dilakukan saat acara ritual yang berhubungan dengan roh. Roh dipanggil dan 'masuk' ke patung-patung batu yang merupakan simbol leluhur. Patung tersebut lalu bergerak seperti menari. Tarian ini akhirnya bertransformasi seiring waktu hingga ke wilayah perkotaan. Namun dalam dalam konteks modern, tortor bukan lagi ritual, melainkan sudah hiburan semata.

Sesungguhnya, banyak jenis tortor yang dikenal dan dipraktekkan dalam kebudayaan Batak. Ada tortor pangurason (tari pembersihan), yang biasanya digelar pada pesta besar. Sebelum pesta dimulai, tempat dan lokasi terlebih dahulu dibersihkan agar jauh dari mara bahaya. Pada pembersihan inilah digelar tortor pangurason dengan menggunakan jerut purut.

Kemudian ada tortor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tari ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja. Tari ini juga berasal dari 7 putri kayangan yang mandi di sebuah telaga di puncak gunung pusuk buhit bersamaan dengan datangnya piso sipitu sarung (pisau tujuh sarung). Kemudian tortor Tunggal Panaluan, yang biasanya digelar apabila suatu desa dilanda musibah, maka tunggal panaluan ditarikan oleh para dukun untuk mendapat petunjuk mengatasi musibah dimaksud. Lalu Tortor Sigale-gale yang dilakonkan sebuah patung kayu yang menggambarkan rasa cinta seorang raja terhadap anak tunggalnya yang meninggal akibat penyakit.

Dalam setiap jenis-jenis tortor itu, ada tiga pesan utama yang ingin disampaikan. Pertama, takut dan taat pada Tuhan pencipta alam. Itulah sebabnya, sebelum tari dimulai, harus ada musik persembahan pada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, pesan ritual untuk penghormatan leluhur dan orang-orang yang masih hidup. Terakhir, pesan untuk khalayak ramai yang hadir dalam upacara.

Durasi tortor bervariasi, mulai dari tiga hingga sepuluh menit. Pada masyarakat Batak, hal ini tergantung permintaan rombongan atau kelompok yang ingin  menyampaikan sesuatu hal ke rombongan lain. Dimintalah  gondang (musik) terlebih dahulu sebelum memulai suatu acara atau pelaksanaan adat. Di zaman modern, meski tortor sudah hiburan semata, namun acara atau pesta adat baik pernikahan dan pemakaman, masyarakat Batak selalu mengggelar tortor. Pesta atau acara adat yang tidak diiringi tortor akan terasa kurang terhormat dan bisa menjadi pergunjingan.

Sebagaimana lazimnya tarian dari kebudayaan lain, maka tortor juga selalu diiringi gondang. Tidak ada tortor tanpa gondang. Dalam prakteknya, sebelum tortor dimulai, pihak yang ingin menari selalu terlebih melakukan acara khusus meminta musik yang disebut tua ni gondang. Permintaan ini juga disampaikan dengan bahasa santun berupa umpasa (pantun Batak). Setelahh gondang diminta, barulah acara manortor dimulai.

Jenis permintaan musik (gondang) yang akan dibunyikan umumnya diawali dengan penghormatan kepada dewa dan pada ro-roh leluhur, lalu gondang untuk keluarga yang mengadakan acara diberi keselamatan kesejahteraan, kebahagiaan, rezeki, dan upacara adat itu. Dan terakhir gondang untuk berkat bagi tuan rumah (penyelenggara pesta atau upacara) dan seluruh keluarga dan para undangan.

Dalam manortor, setiap penari memakai ulos. Ada beberapa pantangan yang tidak diperbolehkan saat manortor, seperti tangan si penari tidak boleh melewati batas setinggi bahu ke atas. Jika itu dilakukan, si penari dianggap arogan dan tidak hormat kepada segenap hadirin. Konon, zaman dulu, jika ada penari melanggar larangan itu, ia dianggap menantang ilmu perdukunan dan kebatinan.

Alat musik yang digunakan adalah ogung sabangunan yang terdiri dari 4 ogung, dan lazim dilengkapi dengan alat musik bernama hesek, taganing  dan sarune. Dalam manorotor, tahapan gondang (musik) yang diminta adalah gondang mula-mula, gondang domba, gondang mangaliat, gondang smonang-monang, gondang sibungajambu, gondang marhusip, dan seterusnya yang  diakhiri dengan Gondang Hasahatan Sitio-tio.

Secara garis besar, terdapat empat gerakan dalam tortor. Pertama adalah Pangurdot, gerakan yang dilakukan kaki, tumit sampai bahu. Kedua adalah Pangeal, merupakan gerakan yang dilakukan pinggang, tulang punggung sampai bahu/sasap. Ketiga adalah Pandenggal, yakni gerakan tangan, telapak tangan dan jari-jarinya. Gerakan keempat adalah Siangkupna yakni menggerakan bagian leher.

Dalam acara tortor biasanya harus ada orang yang menjadi pemimpin kelompok tortor dan pengatur acara (peminta gondang) yang berkemampuan untuk memahami urutan gondang dan jalinan kata-kata serta umpasa dalam meminta gondang. (berbagaisumber/int)