Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Di Depan Pintu Kematian

Sajak-sajak Panda MT Siallagan


Neraka
Katamu:
"Aku telah melemparkan kulitku jadi tanah. Kutanam mataku setelah kutugal dengan tulang-belulang. Tubuhmu tumbuh jadi kembang neraka di situ."

Maka cahaya berlarian di sepanjang dadaku. Hujan kocar-kacir di sekeliling mataku. Cuaca mabuk di labirin paruku.

Katamu:
"Kembang neraka tumbuh di tubuhku berakar cahaya, berbatang hujan dan berdaun cuaca. Dada, mata dan parumu bergelantungan menjelma buah."

Maka aku melihat nafas kita terbakar di semak-semak persetubuhan yang gersang dipanggang birahi.

2003

Di Depan Pintu Kematian
(dari seorang bocah di Aceh)

Angin masih berlari, Ayah. Tapi aku telah terpaku pada kepungan angin berbau mayat. Darah dan airmata mengering, membuat lorong-lorong luka kian pekat dan memanjang di dadaku. Angin berputar-putar menerkam pepohon, dan selalu kutatap keping-keping nyawamu gugur, membusuk di bumi bersama daun-daun.

Tarikan-tarikan nafasmu, Ayah, memanjang dan kian membesar menggali gua kematian. Sementara jalan, batu-batu, juga gunung-gunung kini bercerita tentang sembahyang yang robek. Demikianlah aku, mengirim airmata kepada rohmu yang longsor dihujani amarah para raja dalam jelmaan peluru.

Ayah, kukirim jerit ini bersama airmata ibu yang kemarin sore telah mati dihajar kesedihan. Tubuhnya telah hangus bersama gedung sekolahku yang terbakar. Bongkah-bongkah batu yang longsor dari mulut penguasa jatuh memecah kepalanya.

Di dalam matamu yang remuk, Ayah, juga kubaca dendam yang menyala di setiap kening kaum kita. Kupadamkan dengan airmata, tapi tanah telah berabad kering dibakar kebencian. Airmata jadi abu, menghitam bersama tulang-tulangmu yang terlempar ke mulut surga.

Angin masih berlari, Ayah, tapi aku telah berhenti di pintu kematian yang tertutup setelah nafasmu bersarang di situ merebut surga. Kuasailah, usir manusia-manusia bedebah dari situ.

2003


Maka...

Maka kuderet-deretkan matahari di sepanjang nadiku, agar aroma ketiakmu hangus dibakar darah.

Maka kupancangi pisau-pisau di ceruk telingaku, agar desahmu terburai di dubur nada

Maka kuolesi racun di rahim otakku, agar bayangmu pecah jadi tengkorak di neraka rindu.

2003

* Sajak-sajak ini pernah terbit di Riau Pos, 14 Desember 2003