Pengantin Kelelawar
Sajak-sajak Panda MT Siallagan
Pengantin Kelelawar
Sebagai sepasang sunyi, kami menjelma sepasang kelelawar di malam luka. Inilah musimnya bersetubuh dengan dingin. Kami bersidekap dengan uap darah, sebab bau angin yang ditikami sepi telah menggenapi hasrat sepanjang nafas. Lenguh mengalun, memekarkan bunga-bunga.
Tapi di taman puisi, matahari yang pernah terbit dari matamu kini mati menekuri cahaya yang pecah dari kerut dahi. Dan gugur bunga meremah jadi puing waktu. Sesungguhnyalah kamar pengantin sudah layu diremuk gelap yang menimbun dendam dalam kepala.
Tapi anak-anak harus tumbuh jua dari lubang luka, agar taman lain mekar dari guyuran darah. Kami memeras kata-kata dari peluh. Kami ingin melukis luka dengan sajak berwarna tangis anak-anak.
Setelahnya, mungkin tubuh-tubuh akan tersisa jadi ampas birahi. Tak usah resah, bakal hanyut segalanya dengan airmata. Dan dari setiap muara, camar akan mengirimkan endapan hati sebagai salam karang, dan membesarkan hati anak-anak dengan darah dan luka.
Pekanbaru, 2005
Seperti Sedang Berlari
Aku mendekapMu seperti sedang berlari menjauhiMu. Hatiku tersayat di taman yang basah diguyur peluh. Dan saat aku seperti berlari menjauhiMu ketika memerengkuhMu, kutemukan bayangku sedang bersanding dengan bunga-bunga: bocah kecil menyusu luka di dada ibunya.
Pekanbaru, 2005
Upacara Darah
Detak jam di dinding kamar menetes-nesteskan darah. Mungkin seusai upacara yang meriah, sunyiku dan sunyimu memendam marah, berkelana sepanjang arah. Lalu terjebak di mulut anjing yang menyalak. Sunyiku dan sunyimu tercabik, serupa waktu yang tertikam. Di tubuhku tubuhmu.
Pekanbaru 2005
Ilustrasi. |
Pengantin Kelelawar
Sebagai sepasang sunyi, kami menjelma sepasang kelelawar di malam luka. Inilah musimnya bersetubuh dengan dingin. Kami bersidekap dengan uap darah, sebab bau angin yang ditikami sepi telah menggenapi hasrat sepanjang nafas. Lenguh mengalun, memekarkan bunga-bunga.
Tapi di taman puisi, matahari yang pernah terbit dari matamu kini mati menekuri cahaya yang pecah dari kerut dahi. Dan gugur bunga meremah jadi puing waktu. Sesungguhnyalah kamar pengantin sudah layu diremuk gelap yang menimbun dendam dalam kepala.
Tapi anak-anak harus tumbuh jua dari lubang luka, agar taman lain mekar dari guyuran darah. Kami memeras kata-kata dari peluh. Kami ingin melukis luka dengan sajak berwarna tangis anak-anak.
Setelahnya, mungkin tubuh-tubuh akan tersisa jadi ampas birahi. Tak usah resah, bakal hanyut segalanya dengan airmata. Dan dari setiap muara, camar akan mengirimkan endapan hati sebagai salam karang, dan membesarkan hati anak-anak dengan darah dan luka.
Pekanbaru, 2005
Seperti Sedang Berlari
Aku mendekapMu seperti sedang berlari menjauhiMu. Hatiku tersayat di taman yang basah diguyur peluh. Dan saat aku seperti berlari menjauhiMu ketika memerengkuhMu, kutemukan bayangku sedang bersanding dengan bunga-bunga: bocah kecil menyusu luka di dada ibunya.
Pekanbaru, 2005
Upacara Darah
Detak jam di dinding kamar menetes-nesteskan darah. Mungkin seusai upacara yang meriah, sunyiku dan sunyimu memendam marah, berkelana sepanjang arah. Lalu terjebak di mulut anjing yang menyalak. Sunyiku dan sunyimu tercabik, serupa waktu yang tertikam. Di tubuhku tubuhmu.
Pekanbaru 2005