Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kemerdekaan: Meraut Bambu dengan Airmata


Oleh: Aiyuni Salis Utami Tanjung

Kita semua tahu, merdeka adalah kebebasan hak meraih kendali penuh atas seluruhwilayah. Kisah perjuangan pahlawan-pahlawan Indonesia yang digadangkan dengan senjatanya “Bambu runcing”, masih mengisahkan cerita pedih di masa kini. Meskipun yang dilihat oleh masyarakat Indonesia bahwa negeri ini sudah merdeka.

Ilustrasi.
Karya-karya sastra salah satunya puisi, masih banyak yang mengisahkan kepedihan akan jajahan. Salah satunya puisi Panda MT Siallagan yang berjudul “Setelah Bambu Meruncing Lagi Diraut Airmata”. Berikut bait pertama: a/ setelah bambu-bambu itu meruncing lagi diraut airmata, kami menunggal tanah-tanah yang telah terbakar di dalam jantung kami. kami tanami harapan-harapan, dan membesar jadi pohon-pohon di sepanjang usia kami…”

Indonesia berjuang sangat lama dengan senjata “Bambu runcing” mengharapkan kebebasan meski hanya dalam mimpi. Tapi kesan semangat juang dan pantang menyerah terus mengibarkan bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan hanyalah perintah semata. Seolah-olah negeri ini memang merdeka. Apakah demikian? Sampai sekarang pun yang paling utama adalah penguasa dan dikuasai.

Pengungkapan puisi Panda MT Siallagan dalam bait ke-dua: b/ setelah pada bambu dan pohon-pohon yang terbakar itu kami kibarkan bendera, kampung kami memancarkan warna merah dan putih. kami takjub, dan berpawai merayakan kemenangan itu. tapi kami tiba-tiba tersentak. kami ternyata sedang berjalan di atas genangan darah, tulang-tulang  saudara kami berserakan di halaman. kami ternyata tidak sedang mengibarkan bendera untuk memugar hutan, tapi melukis tanah dengan darah. dan menyusun serakan tulang-tulang jadi jalan raya”.

Seperti menggambarkan kemenangan sementara. Seperti halnya tercatat dalam sejarah (sumber: https://id.m.wikipedia.org, Konferensi Malino-Terbentuknya “Negara” Baru), pada bulan Juli 1946 terjadi suatu krisis dalam pemerintahan Indonesia, keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang telah menguasai sebelah Timur Nusantara. Di bawah Dr. Van Mook, organisasi-organisasi di seluruh Indonesia masuk federasi dengan 4 bagian; Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Timur Raya. Latar belakang konferensi ini dalam rangka SEAC setelah Perang Dunia II, Australia menyerahkan kembali Indonesia Timur kepada Belanda (NICA) pada 15 Juli 1946.

Bait kedua seperti mengisahkan sebuah penyesalan, menang dalam perang tapi masih jadi budak di bawah perintah federasi Belanda. Semua orang tentu harus menikmati haknya dengan berusaha dan berdoa. Tapi pada masa penjajahan dulu (Belanda-Jepang), kematian adalah harga mati dari merdeka. Segala janji kebahagiaan pada masa itu sangat mudah dikhianati dan kembali menderita. Dalam bait ketiga pun bermakna demikian; c/ lalu kami berjalan di atasnya, mencoba membunuh ketakutan dengan ketajaman doa-doa. kami jelajahi jalan-jalan menuju kebebasan. tapi kami tersesat…”

Penulis sangat apik mendeskripsikan kewajaran fisik manusia, maksudnya setelah bekerja keras tentu akan mengalami kelelahan dan tentunya membutuhkan istirahat. Perjalanan panjang tentang perjuangan pun sama yang tercantum pada bait ke-empat: d/ akhirnya kami putuskan untuk rehat, lelap memeluk duka sendiri, tidur di kamar yang kami tukangi dengan airmata kami sendiri. dan di dalam mimpi kami, anak-anak bernyanyi: indonesia raya...merdeka...merdeka…"

Berakhir memasuki dunia mimpi sambil menghayati, memahami, memaknai kemerdekaan masa kini dengan masa lampau. Mendeskripsikan perjuangan yang lelah dan tertidur lalu bermimpi sambil menghayati nada-nada lagu kebangsaan dalam bait ke-lima: e/ kami menghayati nadanya dengan jiwa yang berdarah, dan menjadi kian tak paham memaknai kemerdekaan".

Penulisan puisi yang sangat kental dengan narasi dan deskripsi waktu sangat baik. Menggambarkan perasaan akan jajahan masa lalu. Membacanya seperti memutar film dokumentasi nasional tentang peperangan dengan senjata bambu runcing. Perincian puisi yang sangat apik membuat orang merasa bernostalgia akan sejarah kelam Indonesia.

Dalam khasanah sastra, kita perlu menggali sejarah sebagai bukti nyata yang relevan dalam dunia kepenulisan. Bukan hanya menulis tentang apa yang dirasa. Mengingat masalalu adalah kunci sukses sebuah karya sastra dalam hal menyadarkan akan masa-masa kelam yang mungkin akan punah ditelan zaman. Tapi sastra mendokumentasikan perjalanan sejarah. Apalagi perjuangaan Indonesia untuk merdeka.

Puisi karya Panda MT Siallagan, merupakan puisi-puisi yang mengkisahkan betapa pedihnya perjuangan di masa lalu, dan masih bisa dirasakan di masa sekarang. Bahkan pada masa sekarang, puisi ini memiliki makna tak paham dengan kemerdekaan yang berlangsung. Apakah negeri ini memang merdeka sungguhan. Atau masih saja ada kata “penjajah” di dalamnya dengan konteks berbeda (baca: penguasa)? Ataukah memang benar bahwa arti kemerdekaan adalah meraut bambu dengan airmata?

Segala kata-kata yang ditulis dalam puisi tentunya banyak memiliki makna dengan persepsi yang berbeda serta analisisnya. Semoga, analisis ini mendekati kebenaran tentang arti kemerdekaan yang sesungguhnya.

Sumber puisi: https://solup.blogspot.co.id 

Catt: Artikel ini dimuat di Solup Literal atas seizin penulisnya.