Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sinamot, Sebuah Ujung Kisah


Oleh Panda MT Siallagan

Akhirnya, gelisah itu berujung. Pukul 06.00 WIB, kabar itu tiba. Getar ponsel seperti sengat listrik di kepala. Dadaku sesak, sekaligus lega. Dengan hati kosong, kukemas pakaian ke dalam tas. Hanya beberapa potong. Lalu berlari kecil ke kamar mandi mengambil sikat dan pasta gigi. Memungut ponsel dari atas meja. Memakai sepatu. Keluar dari rumah. Memanggil taksi. Berangkat pukul 09.00 WIB dari Bandara Hang Nadim Batam. Tiba di Polonia Medan pukul 10.00 WIB. Menyewa taksi. Pukul 13.00 WIB akan tiba di desa.

Ilustrasi.
Belum begitu lama sebenarnya. Masih empat bulan. Tapi aku tahu peristiwa itu telah menghabiskan seluruh kebahagiaan dan harapan bapak. Semua berawal dari sebuah Minggu pagi yang berhujan di bulan Maret. Aku pulang disambut hangat. Seekor ayam dipotong. Ngobrol usai makan. Dan aku disuguhi sejarah pedih perjalanan keluarga, yang harus kupedomani. Ibu, adakah sejarah orang desa menyerlah bagai cahaya. Semua menderita, bukan?

Tiba-tiba, “Sudah Maret. Juli kan rencana kalian? Bagaimana kabarnya? Harus disiapkan matang-matang. Bapak dan ibu memang tak ada uang, tapi akan berusaha untuk itu. Cari pinjaman sana sini kan masih bisa. Tak mundur lagi kan?” tanya ibu.

Ibu sepertinya tak siap mendengar kalau rencana itu gagal, seperti telah terjadi berkali-kali hanya karena ketiadaan biaya. Bapak diam, terbatuk untuk sisa sakit paru yang dideritanya sekian lama. Bapak sendiri telah bersusah payah dengan segala tenaga, tapi hasil dari kebun kakao tersedot untuk biaya perobatan yang tak sedikit selama beberapa tahun terakhir.

"Ibu, sepertinya kita harus bersabar lagi,” kataku.

“Maksudmu. Apa kau membawa kabar buruk lagi?” Bapak yang bertanya.

“Bapak, mungkin belum rezeki. Orangtuanya gagal memahami kita. Mereka minta sinamot Rp 50 Juta. Jadi untuk sementara aku berencana ke Batam. Banyak teman yang bisa membantu memberikan pekerjaan lebih layak di sana. Mudah-mudahan dalam waktu tidak terlalu lama, bisa kukumpul-kumpul biaya untuk itu. Bapak setuju?”

Bapak diam. Tertunduk. Tangannya agak gemetar meraih gelas berisi jamu di hadapannya. Di sampingnya, ibu menatapku dengan mata kosong, juga meraih gelas berisi air putih hangat, meneguknya dengan tenang. “Ya sudah, tak usah kau sedih karenanya,” berat suara ibu.

“Orang kecil itu memang susah. Dia ini yang tak tahu diri. Kau pikir gampang cari istri anak orang kaya. Coba kalau dulu kau mau dengan pariban-mu itu,” Bapak mengarahkan telunjuknya ke pelipisku.

Perdebatan malam itu berakhir. Ibu beranjak ke kamar. Sebelum tidur, ditembangkannya dua judul kidung jemaat yang sudah dihapalnya. Aku tahu dia sedih dan menangis. Bapak membaca di ruang tengah, sesekali terbatuk. Aku merenung di dapur. Meneteskan airmata. Sudah lama aku tak pernah menangis. Malam itu kesedihan benar-benar tidak tertanggung.

Tiga hari kemudian, aku berangkat. Bapak agak kaku, tapi ibu melepas kepergian itu dengan sesunggukan. Setua itu mereka harus menderita untuk ketidakpastian hidupku. Dan perempuan yang selama 7 tahun mengaku mencintaiku, selalu yakin dengan semua ukuran dan standar hidup yang ditentukannya. Dia membiarkanku pergi tanpa bertanya dan tidak berkata apa-apa tentang rencana pernikahan yang gagal karena angka. “Pergilah, semoga kau bisa,” katanya.

Tertikam duri rasa jantungku mendengar ucapan itu. Sama sakitnya ketika dia jatuh cinta pada rekan kerjanya dan bercerita betapa hebat laki-laki itu. Wajah bersih. Mobil bagus. Gaji besar. Lalu memvonis aku sebagai laki-laki bodoh dan pemalas.

Kini aku berada di dalam taksi yang meluncur cepat. Hampir menetes juga airmata. Tapi kutahan, kuraih bungkus rokok dan aku merokok setelah minta ijin dari supir taksi. Kuisap rokok sambil geleng-geleng kepala.

“Gelisah kayaknya, Bang. Apa buru-buru, biar kita tambahi kecepatan,” kata si Supir taksi.

“Oh tidak. Santai saja. Aku juga perlu menata hati. Aku sesak. Bapakku meninggal subuh tadi.”

“Oh maaf…”

“Tak apa. Semua orang akan kehilangan,” kataku.

Taksi menderu. Angin berhembus kencang dari kaca yang sedikit terbuka. Aku dan supir taksi diam hingga akhirnya aku tiba di desa. Tapi diam itu pecah ketika tangis ibu dan saudara-saudara yang lain meledak sebaik aku tiba. Jenazah ayah terbujur dengan tenang. Kuhidupkan rokok sekedar menenangkan hati yang berkecamuk.

Teringat aku pada Aida. Aku tak tahu apakah dia bersedih dengan kepergian bapak. Tapi kuputuskan tak memberitahu. Setelah pemakaman berakhir, aku cukup menemuinya dan mengatakan bahwa bapak sudah pergi dan tak ada lagi hal yang harus direncanakan secara buru-buru.

Dia mungkin akan tercekat dan memohon maaf untuk beberapa hal. Tapi kukatakan aku sudah lelah bersedih. Kutinggalkan dia dan kukatakan aku tidak akan kembali. Aku sangat sedih dan tiba-tiba tak ingat apa-apa lagi. Ketika siuman, pemakaman sudah berakhir. Kudengar orang bicara samar-samar.

“Gara-gara sinamot, tak ditunggunya lagi anaknya itu. Manalah memang dia sanggup membayar 50 juta.”

Aku diam mendengar perkataan itu. Tapi aku terkejut saat kulihat Aida ada dalam rombongan keluarga sepulang dari pemakaman. Aku makin sedih. Aku sesungguhnya mencintainya. Mungkin juga dia. ***

Pematangsiantar, 2006