Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dari Manuskrip Luka


Puisi-puisi Panda MT Siallagan 

Ilustrasi.

Memaknai Dua Musim

Dari kemarau yang parau, selalu kita berangkatkan harap menjemput hujan. Tetapi ketika bunga-bunga busuk direndam airmata, kita desahkan juga perih dari sesal luka. Kapan kita mampu membaca setiap aroma perjalanan?

Seperti percakapan-percapakan yang selalu hadir, keluh kesah itu tetap saja menyisakan tanya, untuk kita eja di atas buih-buih alkohol, pada batang-batang rokok yang pasrah jadi abu, juga ampas kopi yang menandai batas nikmat: hidup yang berujung pada gelap harap.

Santai sajalah, mari kita baca kemarau dalam renjis gerimis. Mari kita dekap hujan dalam sengat kemarau, bukankah sajak telah berulang-ulang dicipta? Bukankah kita besar dan suka dan duka?

2003

Dari Manuskrip Luka

Di atas manuskrip yang kau lukisi luka itu, darahku tumbuh jadi mawar. Para bidadari yang merindui aroma sajak, menari bersama kupu-kupu di antara warna-warna. Gerakan mereka mengalirkan jiwamu ke tahajud abadi. Maka menjelmalah luka jadi firman, sebab telah kau maknai kepedihan dengan bahasa senyum.

2003

Suara Penyair

Aku telah membakar tubuhku dengan api kata, tapi kau sebut di jemariku masih tumbuh mawar. Telah melepuh mataku oleh bara kalimat, tapi selalu kau lihat sungai jernih memantulkan bulan di situ.

Aku telah memanggang jiwaku dengan sajak-sajak, tapi kau bilang di dalamnya masih terbentang hutan hijau. Telah menjadi arang jantungku oleh syair-syair, tapi selalu kau dengar kesucian berdenyut di situ.

Kapan kau paham makna kepedihan?

2003

Menapaki Laut

Selalu kurakit alismu jadi lancang
di atas laut
sebab degupku
selalu rindu mengunjungimu
di seberang pulau

2003

* Puisi-puisi ini pertama kali dimuat di Riau Pos, 25 Januari 2004